Home Nasional Pelaksanaan HAM Dulu dan Sekarang

Pelaksanaan HAM Dulu dan Sekarang

Oleh : Riyanto Garam

0
SHARE
Pelaksanaan HAM Dulu dan Sekarang

BizNews.id - Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia berlaku sejak kemerdekaan Negara Indonesia, namun dalam perjalanannya mengalami pasang surut, dan menjadi lebih signifikan setelah era reformasi dengan diterbikatnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menjadi landasan Hukum Utama dalam perlindungan dan Penegakkan HAM di Indonesia.

Mengutip dari sumber, Jakarta HumasMKRI, Begitu majunya pemikiran para pendiri bangsa Indonesia pada 1945. Tak hanya bagian Pembukaan yang sudah jauh melampaui pemikiran kebangsaan. Perdebatan tentang hak asasi manusia (HAM) juga berulang kali muncul dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan pada 1945. Perdebatan serupa tentang HAM muncul kembali pada amendemen UUD 1945 pada 1999-2002, yang menghasilkan seperangkat pasal tentang HAM yang sangat baik, meski tetap tak luput dari kekurangan. Misalnya, Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

Dalam konteks relasi internasional, sambung Bivitri, pada saat kita di sini berbicara dan berdiskusi, banyak orang di negara tetangga kita yang mengalami penyiksaan dan pembunuhan yang sangat sistematis dan masif. Sebagian di antaranya terpaksa menjadi pengungsi di berbagai negara, termasuk Indonesia.  

Dari HAM inilah kualitas kita sebagai manusia patut dipertanyakan, Mengapa? Dalam perjalanannya untuk mencari keadilan dan memanusiakan manusia masih syarat terhadap kendala yang berdiri mengangkang. Sungguhpun kita telah dilengkapi dengan adanya Pengadilan HAM di Indonesia, namun belum dapat memberikan  ruang hukum yang ideal untuk menjalankan tanggung jawab negara tentang HAM. Banyaknya perkara dan persoalan yang selalu disinggungkan dan mengatasnamakan HAM, namun belum ada upaya nyata harus bagaimana jalan keluarnya agar tetap elegan dan tidak bersinggungan dengan makhluk HAM itu.

Perjalanan HAM itu sendiri sudah cukup umur di negeri kita Indonesia, namun standar yang seperti apa yang patut ditaati bersama agar menjadi sebuah pedoman yang mampu memberikan arah dan garis-garis besar dalam memedomani aturan itu.

Menilik dari ketaatan dalam memagang norma dan aturan, lambat laun semakin mengendor dan peraturan dijadikan alat untuk menghakimi satu sama lainnya, ini kan sebuah persoalan yang harus diselesaikan untuk sebuah misi kemanusiaan. Banyak contoh di masyarakat yang efeknya tidak memberikan contoh yang baik dan cenderung akan menganggu sistem regenerasi sebuah bangsa. Dulu anak sekolah (pelajar) akan selalu tunduk dan hormat terhadap guru di manapun berada, selalu santun dan menghormati apa yang menjadi arahan sang guru, namun jaman sekarang guru tidak lagi menjadi panutan bagi para pelajar. Secara langsung bisa berarti degradasi terhadap peran dan fungsi guru, tetapi bisa juga karena guru enggan berhadapan dengan apa yang dinamakan HAM, sehingga mencari jalan selamat untuk diriya sendiri. Walaupun obyek yang disandangnya adalah pemberi pengajaran dan pendidikan terhadap siswa, yang sebenarnya bertentangan dengan hati nurani.

Jika dulu orang tua menyerahkan sepenuhnya pendidikan dan pembelajaran di sekolah kepada guru, serta memiliki rasa ikhlas dan bangga terhadap pendidikan yang diberikan kepada anaknya bahkan ada rasa haru bagaimana mengucapkan kepada guru atas jasanya mendidik anaknya. Namun sekarang orang tua ikut campur tangan terhadap pembelajaran yang dilakukan oleh guru di sekolah, ini merupakan persoalan baru yang muncuk. Mengapa demikian? Bisa jadi sebagai orang tua tidak ingin anaknya menderita atau mengalami hal-hal yang sama dengan dirinya ketika di bangku sekolah, dan penyebab lain karena kondisi orang tua yang mengalami perkembangan sukses dan menjadikan orang yang berkecukupan, sehingga timbul perasaan baru dalam hal pengelolaan anak sebagai generasi penerus.

Banyak hal-hal yang hilang dan menjadikan perhatian oleh segenap pihak di masa sekarang ini, bukan saja yang timbul mitos “ganti menteri ganti kurikulum” tetapi ada hal-hal yang dilupakan dalam pendidikan sekarang ini, seperti adab sopan-santun, bagaimana berterimakasih dan menghargai kehadiran orang lain disekitar kita dan bagaimana menjadi dirinya sendiri dalam setiap waktu dan kesempatan, sehingga kesehajaan, kejuruan, disiplin dan tanggung jawab menjadi jati diri yang utuh di setiap anak didik.

Dulu akan senang bila kita mendapat teguran atau arahan dari guru, berarti ada yang kurang atau tidak benar apa yang dilakukan oleh anak didik, tetapi sekarang giliran anak mendapat teguran atau arahan dari guru, orang tua bersikap seolah anaknya melakukan sebuah pelanggaran atau kesalahan. Orang tua ikut bersikeras atau bahkan menelpon gurunya dan bersiap memberikan pembelaan atau pledoi agar anak terbebas dari sebuah kewajiban. 

Pendidikan sekolah sebenarnya merupakan kepanjangan dari pendidikan di rumah ketika orang tua tidak lagi mempu memberikan ajaran dan pemahaman terhadap ilmu, ketika orang tua mulai sibuk dengan kegiatannya, apakah itu sebagai pejabat negara, pegawai, pedagang atau pekerjaan lainnya. Artinya orang tua tidak lagi mampu memberikan pengajaran dan pendidikan. Disinilah peran guru menggantikan orang tua yang tidak lagi memiliki ruang dan waktu dalam mengurus dan mempersiapkan masa depan anak dari sudut pendidikan dan pengajaran. 

Yang perlu disadari adalah bahwa kemampuan setiap anak tentu akan berbeda dengan anak yang lainnya, termasuk prestasi anak pada dekade kurun waktu juga akan berbeda dengan kemampuan anak pada dekade angkatan yang lain. Oleh karenanya konsep penerimaan orang tua sebagi pribadi dari waktu ke waktu mempunyai perasaan yang berbeda terhadap anak-anak mereka. Orang tua yang menunjukkan “pribadi yang sesungguhnya” kadang-kadang merasa dapat menerima tingkah laku anak-anaknya dan kadang-kadang tidak dapat menerimanya.

Tingkah laku adalah sesuatu yang dilakukan atau dikatakan oleh anak-anak. Tingkah laku bukan merupakan penilaian orang tua terhadap anak dalam hal ini. Semua tingkah laku yang mungkin dilakukan anak-anak adalah hal mungkin dia lakukan atau apa yang dikatakan. Tentu saja, beberapa di antara tingkah laku anak dapat diterima  dan beberapa yang tidak bisa diterima oleh orang tua. Hal ini harus dipahami, diperiksa lagi dengan teliti dan objektif seberapa besar garis penerimaan orang tua terhadap perilaku anak.

Dapat dikatakan bahwa anak merupakan bagian investasi atau harapan orang tua untuk masa depannya, namun yang juga harus dipahami bahwa orang tua adalah manusia biasa bukan dewa yang dapat berkehendak sesuai dengan keinginannya. Sehingga sudah semestinya dalam kehidupan anak juga harus mengikuti mekanisme psikologi anak dan perkembangan anak dalam lingkungan. Orang tua dapat saja menjadi katalisator, tetapi harus objektik dan logis dalam penilaiannya.

Banyak contoh di luar yang selalu dibenturkan dengan HAM, yang akhirnya pokok permasalahannya tidak kunjung berakhir. Misalnya untuk mengatasi kenakalan anak, ada beberapa orang atau bahkan lembaga yang menitipkannya kepada lembaga lain untuk dididik dan diajari perihal kenakalan dan solusinya. Sehingga anak menjadi paham akan kekurangannya selama ini yang mungkin tidak diajarkan oleh orang tua, misalnya tentang kedisiplinan dan ketaatan terhadap waktu. Namun banyak juga orang tua yang membela dan tidak mengikhlaskan anaknya diajari dengan cara militer, misalnya. Termasuk pejabat di lingkunagn HAM yang mengatakan itu bukan solusi pengajaran yang tepat, tetapi tidak memberikan arah dan jalan keluarnya dan lebih cenderung mementingkan menghiasi media untuk menunjukkan otoritasnya.

Masalah di Papua yang dengan OPM-nya menghabisi masyarakat yang tidak berdosa dan tidak terlibat dalam masalah territorial menjadi korban yang tidak kunjung penyelesaiannya. Termasuk penggunaan peralatan militer yang dibatasi untuk mereduksi para OPM yang jelas bertentangan dengan negara. Justru penilaian cenderung berat sebelah dalam menyikasi pemberitaan media, dengan dalih pelanggaran HAM.

Banyak contoh-contoh yang menggunakan baju HAM namun tak kunjung dapat diselesaikan dengan elegan dan jalan keluar yang dapat diterima oleh semua pihak. Memang dalam hal ini bahwa setiap negara pelaksanaan HAM-nya mengalami perbedaan dalam menafsirkan aturan main, namun yang jelas bahwa semua itu untuk perlindungan kemanusiaan. Tentu saja bukan sembarang yang berbunya kemanusiaan, tetapi juga harus di perhatikan kemanusiaan yang mana yang akan membahayakan orang lain tentu kemanusiaan yang bermasalah.

Mungkin bila kita semua dapat berlapang dada dengan hati yang jernih mulai membantu mengurai permasalahan seperti ini, bisa jadi permasalahan korupsi, kolusi dan nepotise secara bertahap juga terkikis oleh kondisi yang mulai tertata rapi dan menghasilkan misi kemanusian dengan sportivitas yang tinggi.