
Keterangan Gambar : Aksi akan digelar serentak di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Denpasar, Semarang, dan lainnya.
BIZNEWS.ID - JAKARTA - Koalisi Serikat Pekerja dan Partai Buruh (KSP-PB) menolak data kemiskinan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) per Juni 2025. Mereka menilai angka yang disampaikan BPS tidak akurat, bias, dan tak mencerminkan kondisi riil masyarakat di lapangan, khususnya kaum buruh.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menyatakan bahwa metodologi penghitungan angka kemiskinan oleh BPS sudah ketinggalan zaman dan tidak sejalan dengan standar internasional.
“BPS masih menggunakan ambang batas kemiskinan sebesar USD 2,5 PPP (Purchasing Power Parity) per hari, padahal Indonesia sudah masuk kategori negara berpenghasilan menengah atas (upper-middle-income country). Seharusnya, batasnya dinaikkan ke USD 5 PPP per hari sesuai standar Bank Dunia,” kata Said Iqbal dalam konferensi pers, Senin (29/7).
Dengan standar BPS saat ini, angka kemiskinan nasional per Juni 2025 tercatat 8,57% atau sekitar 24 juta orang. Namun menurut Litbang KSP-PB, bila memakai acuan USD 5 PPP, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia melonjak menjadi sekitar 68 juta orang. Bahkan dengan acuan USD 6,5 PPP, angka kemiskinan bisa mencapai 68% dari total populasi atau sekitar 190 juta orang.
“Data BPS ini tidak mencerminkan kenyataan. Banyak buruh masuk kategori hampir miskin (near poor), dan saat mereka terkena PHK, otomatis jatuh ke kategori miskin. Tapi ini tidak terlihat dalam laporan resmi BPS,” tambah Iqbal.
Kritik terhadap data kemiskinan BPS juga didasarkan pada fakta meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) di awal 2025. Litbang KSP-PB mencatat lebih dari 70 ribu buruh terkena PHK pada periode Januari–April 2025. Bahkan, data BPS sendiri menunjukkan angka PHK naik 32% pada Juni 2025 dibanding bulan yang sama tahun lalu.
Sejumlah perusahaan tekstil di Jawa, termasuk PT MKM di Tegal, tercatat melakukan PHK massal. Tren ini diperparah oleh dampak tarif dagang dari Amerika Serikat (tarif Trump) yang memukul sektor ekspor. Selain itu, sektor ritel juga mengalami tekanan akibat melemahnya daya beli masyarakat, memicu PHK di banyak pusat perbelanjaan. Apindo juga mencatat bahwa sekitar 50% perusahaan yang disurvei telah atau sedang melakukan PHK.
Menanggapi situasi tersebut, KSP-PB mengumumkan rencana aksi nasional di 38 provinsi yang akan digelar antara 15 hingga 25 Agustus 2025. Aksi ini akan melibatkan lebih dari 75 ribu buruh dengan enam tuntutan utama, yaitu:
• Menolak transfer data pribadi ke Amerika Serikat.
• Membentuk Satgas PHK untuk mengantisipasi gelombang PHK akibat tarif Trump.
• Menghapus sistem outsourcing.
• Mendesak pengesahan RUU Ketenagakerjaan sesuai Putusan MK No. 168/2024.
• Mendesak pemisahan jadwal Pemilu nasional dan daerah sesuai Putusan MK No. 135/2025.
• Menerapkan sistem pajak yang adil bagi buruh, termasuk menaikkan PTKP menjadi Rp7,5 juta/bulan dan menolak pajak atas pesangon, JHT, THR, dan dana pensiun.
Aksi akan digelar serentak di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Denpasar, Semarang, dan lainnya.(Dens)
#DataKemiskinanIndonesia2025, #SerikatPekerja, #BPS, #PHKMassal, #PartaiBuruh,
LEAVE A REPLY