
Jakarta, BIZNEWS.ID - Lebih dari satu abad lalu, Raden Ajeng Kartini menyalakan api yang mengubah sejarah perempuan Indonesia. Ia tak memiliki hak bicara di forum publik, tak punya kursi di lembaga negara, namun surat-suratnya mampu mengguncang hati dunia. Hari ini, di balik gerbang-gerbang madrasah yang mungkin tak megah, api itu terus bernyala—dijaga oleh Kartini-Kartini Zaman Now.
Mereka bukan sekadar guru. Mereka adalah pemimpin. Mereka bukan hanya pengajar, tapi penjaga integritas, penggali potensi, penggerak perubahan. Dan kisah mereka, sebagaimana terangkum dalam buku “Wanita Berjuta Talenta, Kisah Inspiratif Wanita Tangguh di Balik Kesuksesan Madrasah”, karya Dr. H. A. Umar, M.A., bukan dongeng yang ditulis untuk dikenang, tetapi nyala hidup yang terus bekerja untuk mencerdaskan bangsa.
Persahini Sidik: Kepemimpinan yang Lembut Tapi Meledak dari Dalam
Di tengah dunia pendidikan yang sering kali dikendalikan oleh lelaki, Dra. Persahini Sidik, M.Si berdiri di tengah panggung besar—memimpin MAN Insan Cendekia Serpong, madrasah paling bergengsi di bawah Kementerian Agama RI-- madrasah yang dikenal gudang prestasi dan sekolah-madrasah terbaik di Indonesia versi UTBK tahun 2021, 2022, 2023—. Ia menjadi perempuan pertama yang menduduki posisi itu.
Ketika pertama menjabat sebagai kepala madrasah, kegundahan membayangi. Namun ia memilih melangkah dengan prinsip kolaborasi dan komunikasi sebagai kunci. Ia membangun kultur evaluasi rutin, pertemuan terbuka antar-elemen madrasah, dan memelopori program pembinaan guru serta siswa berbasis kompetensi dan karakter. Di tangannya, MAN IC Serpong meraih gelar madrasah terbersih, berbasis lingkungan, hingga mencetak medali internasional dalam Olimpiade Sains.
Saat pertama masuk, ia tak hanya menghadapi tantangan birokrasi dan akademik. Ia juga menghadapi keraguan yang halus tapi tajam—apakah seorang ibu mampu memimpin ratusan anak dan puluhan guru dengan sistem asrama 24 jam?
Jawabannya: iya, dan lebih dari itu.
Bu Peni, begitu ia disapa, memimpin bukan dengan gemuruh suara, tetapi dengan konsistensi nilai, ketajaman visi, dan kelincahan aksi. Ia membangun sistem komunikasi yang terbuka antara siswa, guru, dan orang tua. Ia hidup bersama para santri, tidak hanya hadir dalam rapat, tetapi juga dalam keseharian yang penuh makna.
Salah satu ujian kepemimpinan datang saat asrama MAN IC Serpong diserbu wabah scabies (kudis). Satu per satu siswa menderita, asrama tak lagi nyaman. Dalam tiga hari, Bu Peni mengoordinasi alumni dokter, Dinas Kesehatan, guru, komite, dan siswa sendiri. Semua bergerak. Sprei direbus, kamar disterilkan, dan pengobatan dijalankan serentak.
Apa yang tampak sebagai krisis, dijadikan ajang solidaritas dan pembelajaran hidup. Ia tidak hanya menyelesaikan masalah, tapi membentuk karakter—bahwa pemimpin hadir dalam krisis, bukan hanya dalam seremoni.
Dan ketika bicara akademik, ia tak main-main. Ia menghidupkan kultur belajar yang bernilai ibadah. “Kalau sekolah umum bisa jadi nomor satu, kenapa madrasah tidak?” kalimat itu jadi nyala semangat. Di bawah kepemimpinannya, MAN IC Serpong meraih lima besar UN nasional, dan seluruh siswanya diterima di kampus top dalam dan luar negeri.
Bu Peni adalah Kartini yang mengelola kecerdasan dengan akhlak, memimpin dengan empati, dan mendobrak batas dengan ketekunan. Bu Peni kini telah mengakiri tugas dengan baik karena Pensiun. Selamat hari Hartini Bu Peni.
Lailil Qomariyah: Menerobos Sunyi, Menyapa yang Tak Dianggap
Sementara banyak madrasah bersaing dalam ranking, Lailil Qomariyah, M.Pd melangkah ke jalur sunyi: membangun madrasah inklusi. Sebuah keputusan yang membutuhkan keberanian moral luar biasa.
Di masyarakat yang masih memandang anak berkebutuhan khusus sebagai “masalah”, ia justru menjadikan mereka sumber keberkahan dan pelajaran kemanusiaan. Ia mendirikan MI Ar-Raihan di Kabupaten Malang, madrasah yang membuka pintu untuk semua: tuna netra, down syndrome, autism, anak-anak istimewa yang kerap ditolak sekolah lain.
Ia tidak hanya menerima, tapi memuliakan. Ia melatih guru-guru agar penuh empati, menyusun pembelajaran berdiferensiasi, menata lingkungan sekolah agar semua bisa tumbuh. Ia menyampaikan pesan Islam tentang kasih sayang dalam bentuk nyata.
Dari Ar-Raihan, lahir anak-anak yang dulu tak dianggap, kini tampil percaya diri, bisa membaca Al-Qur’an, menari, berhitung, bahkan bersahabat dengan lingkungan. Lailil pun terus bersuara ke forum nasional, menjadi penyusun kebijakan madrasah inklusi, hingga ke ruang-ruang kementerian.
Ia tidak marah pada sistem. Ia memperbaiki sistem. Ia tidak menyalahkan masyarakat. Ia mengubahnya dengan keteladanan. Lailil Qomariyah adalah Kartini yang berjalan di jalan sunyi, namun suaranya kini didengar oleh ribuan hati. MI Ar Raihan yang dulu mencari siswa, kini siswa antri dan pesan kursi dengan masa tunggu lenih 5 tahun.
Hartatik dari Papua: Menghidupkan Cahaya di Ujung Negeri
Dari pulau-pulau indah di Raja Ampat, nama Hartatik, S.Pd bersinar tanpa panggung. Ia mendirikan madrasah dari nol, di wilayah yang jarang dijangkau media apalagi pejabat. Tidak ada guru tetap. Tidak ada gedung memadai. Tapi ada cinta yang tak habis dibagi.
Ia berjalan dari kampung ke kampung, mengajak anak-anak Papua masuk madrasah. Ia mengajar sendiri, mencatat, membersihkan, sekaligus mengelola administrasi. Ia menulis proposal ke sana sini, bukan untuk mendapat pujian, tapi agar ada papan tulis dan bangku untuk anak-anak.
Kini, madrasahnya berdiri tegak. Anak-anak Papua mengenal Al-Qur’an, mengenal Indonesia, mengenal harapan. Hartatik bukan aktivis viral. Ia adalah pahlawan sunyi, namun jejaknya akan lama tinggal dalam sejarah pendidikan Indonesia.
Kartini Madrasah: Menjaga Integritas, Merawat Perjuangan
Mereka adalah simbol bahwa perempuan bukan pengikut, tapi pemimpin. Bahwa madrasah bukan sekadar tempat belajar agama, tapi taman peradaban. Dan bahwa pendidikan bukan hanya tentang kecerdasan, tapi tentang keberanian, cinta, dan keteguhan moral.
Hari ini, saat dunia diramaikan oleh popularitas instan dan pencapaian semu, kisah mereka menggetarkan relung kesadaran kita semua: bahwa yang paling dibutuhkan dari seorang pendidik adalah integritas.
Mereka tidak hanya mengajar, tetapi menghidupkan semangat. Mereka tidak hanya memimpin, tetapi merawat nilai. Dan mereka tak menuntut penghargaan, karena jiwa mereka sudah penuh dengan kebermaknaan.
Dari Kartini ke Kita: Apakah Kita Siap Menyambung Api Itu?
Kartini sudah menyalakan obor itu. Pertanyaannya: siapa yang akan terus menjaganya?
Jawabannya ada pada kita: perempuan yang menjadi guru, ibu, kepala madrasah, kepala sekolah, dosen, aktivis, mahasiswa. Jadilah pemimpin, bukan sekadar pengikut. Jadilah suara yang penuh cinta, bukan teriakan tanpa arah. Jadilah terang, walau lilinmu kecil.
Dan jika engkau mendidik di madrasah, ketahuilah—engkau bukan hanya guru. Engkau adalah Kartini masa kini. Dan bangsa ini menaruh harapan pada nyala di tanganmu.
Dr. A. Umar, MA (Dosen FITK UIN Walisongo Semarang)
LEAVE A REPLY